Sejarah
Secara
historis, matematika modern muncul dipicu karena persaingan antara blok Barat
merasa terpukul oleh kemajuan teknologi blok Timur. Untuk menghadapi blok
Timur, blok Barat memerlukan banyak ilmuwan-ilmuwan yang handal dalam memajukan
teknologinya. Matematika sebagai salah satu ilmu dasar dalam mendukung
teknologi perlu direstrukturisasi baik dari segi materi (content) maupun
pembelajarannya (Ruseffendi, 1988; Wahyudin, 1999). Melalui pembelajaran
matematika modern Amerika (blok Barat) cukup berhasil menghasilkan banyak
ilmuwan dan mengembalikan kejayaan mereka dalam memimpin teknologi.
Keberhasilan Amerika dengan matematika modernnya tidaklah sempurna,
pembelajaran matematika modern lebih mendorong orang-orang yang berbakat saja.
Sementara para siswa yang kurang berbakat, prestasi belajarnya dalam matematika
malah lebih terpuruk (Ruseffendi, 1988). Hal ini sangat masuk akal, walaupun
matematika diberikan melalui pendekatan spiral dan disesuaikan dengan tahap
berpikir anak, namun karakteristik matematika modern menuntut kemampuan yang
tinggi untuk menguasainya. Sementara itu RME,
merupakan salah satu jawaban dari tantangan yang berbeda. Kebutuhan dan
penggunaan matematika dan persaingan global khususnya dalam bidang ekonomi di
era teknologi dan informasi ini hampir di setiap sektor kehidupan kita dituntut
untuk menggunakan keterampilan intelegen dalam menginterpretasi, menyelesaikan
suatu masalah, ataupun untuk mengontrol proses komputer. Kebanyakan lapangan
kerja belakangan ini menuntut kemampuan menganalisis daripada melakukan
keterampilan prosedural dan mekanistik. Dengan demikian, siswa memerlukan lebih
banyak matematika untuk menjawab tantangan dunia kerja. Tetapi jawaban atas
kebutuhan di atas bukan hanya melahirkan RME saja, Jepang sejak awal tahun 90-an
mengembangkan ‘open-ended’ yaitu pendekatan yang menekankan pada soal-soal
konstektual yang mempunyai banyak solusi dan strategi.
Dipandang
dari konteks menjawab permasalahan masing-masing, kedua pandangan matematika di
atas tidak perlu dipertentangkan, bahkan untuk menjawab tantangan ke depan
dalam pendidikan matematika sekolah maupun pengembangan keilmuan matematika itu
sendiri kedua pandangan tersebut saling melengkapi. Pendidikan matematika
sekolah untuk semua siswa diarahkan untuk menjadi problem solver pada kehidupan
sehari-hari, sementara untuk siswa tertentu yang akan menekuni dunia ilmu baik
dasar maupun terapan tentu diperlukan matematika sebagai subject matter untuk
mendukung pengembangan keilmuannya. Kebiasaan melakukan aktivitas matematisasi
dapat mendukung dalam melakukan penemuan-penemuan pengetahuan baru. 2.
Hakekat Matematika Sejalan dengan historisnya, menurut Reys dkk (1984) yang
berkepentingan dalam gerakan matematika baru adalah para ilmuwan sehingga tidak
mengherankan jika matematika yang dikembangkan dalam kurikulum bersifat
abstrak, aksiomatik, akurat, mengutamakan kepada struktur dan generalisasi
(dalam Ruseffendi, 1990). Pengajaran matematika modern memandang matematika.
Definisi
Pembelajaran matematika realistik
adalah padanan Realistic Mathematics Education (RME), sebuah pendekatan
pembelajaran matematika yang dikembangkan Freudenthal di Belanda. Gravemeijer
(1994: 82) mengungkapkan “Realistic
mathematics education is rooted in Freudenthal’s interpretation of mathematics
as an activity”. Ungkapan Gravemeijer di atas menunjukkan bahwa
pembelajaran matematika realistik dikembangkan berdasar pandangan Freudenthal
yang menyatakan matematika sebagai suatu aktivitas. Lebih lanjut Gravemeijer
(1994: 82) menjelaskan bahwa yang dapat digolongkan sebagai aktivitas tersebut
meliputi aktivitas pemecahan masalah, mencari masalah dan mengorganisasi pokok
persoalan. Menurut Freudenthal aktivitas-aktivitas itu disebut matematisasi.
Terkait dengan konsep pembelajaran matematika realistik di atas Gravemeijer
(1994: 91) menyatakan “Mathematics is
viewed as an activity, a way of working. Learning mathematics means doing
mathematics, of which solving everyday life problem is an essential part”.
Gravemeijer menjelaskan bahwa dengan memandang matematika sebagai suatu
aktivitas maka belajar matematika berarti bekerja dengan matematika dan
pemecahan masalah hidup sehari-hari merupakan bagian penting dalam
pembelajaran.
Konsep lain dari pembelajaran
matematika realistik dikemukakan Treffers (dalam Fauzan, 2002: 33 – 34) dalam
pernyataan berikut ini “The key idea of
RME is that children should be given the opportunity to reinvent mathematics
under the guidance of an adult (teacher). In addition, the formal mathematical
knowledge can be developed from children’s informal knowledge”.Dalam
ungkapan Treffers tersebut menjelaskan ide kunci dari pembelajaran matematika
realistik yang menekankan perlunya kesempatan bagi siswa untuk menemukan
kembali matematika dengan bantuan orang dewasa (guru). Selain itu disebutkan
pula bahwa pengetahuan matematika formal dapat dikembangkan (ditemukan kembali)
berdasar pengetahuan informal yang dimiliki siswa. Pernyataan-pernyataan yang
dikemukakan di atas menjelaskan suatu cara pandang terhadap pembelajaran
matamatika yang ditempatkan sebagai suatu proses bagi siswa untuk menemukan
sendiri pengetahuan matematika berdasar pengetahuan informal yang dimilikinya.
Dalam pandangan ini matematika disajikan bukan sebagai barang “jadi” yang dapat
dipindahkan oleh guru ke dalam pikiran siswa.
Terkait dengan aktivitas
matematisasi dalam belajar matematika, Freudenthal (dalam Panhuizen, 1996: 11)
menyebutkan dua jenis matematisasi yaitu matematisasi horisontal dan vertikal
dengan penjelasan seperti berikut ini “Horizontal
mathematization involves going from the world of life into the world of symbol,
while vertical mathematization means moving within the world of symbol”. Pernyataan
tersebut menjelaskan bahwa matematisasi
horisontal menyangkut proses transformasi masalah nyata/ sehari-hari ke dalam
bentuk simbol. Sedangkan matematisasi vertikal merupakan proses yang terjadi
dalam lingkup simbol matematika itu sendiri. Contoh matematisasi horisontal
adalah pengidentifikasian, perumusan dan pemvisualisasian masalah dengan
cara-cara yang berbeda oleh siswa. Sedangkan contoh matematisasi vertikal
adalah presentasi hubungan-hubungan dalam rumus, menghaluskan dan menyesuaikan
model matematika, penggunaan model-model yang berbeda, perumusan model matematika
dan penggeneralisasian.
Mengacu kepada dua jenis kegiatan
matematisasi di atas de Lange (1987: 101) mengidentifikasi empat pendekatan
yang dipakai dalam mengajarkan matematika, yaitu pendekatan mekanistik,
empiristik, strukturalistik dan realistik. Pengkategorian keempat pendekatan
tersebut didasarkan pada penekanan atau keberadaan dua aspek matematisasi
(horisontal atau vertikal) dalam masing-masing pendekatan tersebut, seperti
yang tergambar dalam Tabel 2.1. di bawah.
Tabel 2. 1 Matematisasi horisontal dan vertikal
dalam pendekatan-pendekatan matematika |
||
Jenis Pendekatan
|
Matematika Horizontal
|
Matematika Vertikal
|
Mekanistik
|
-
|
-
|
Empristik
|
+
|
-
|
Strukturalistik
|
-
|
+
|
Realistik
|
+
|
+
|
Tanda “+” berarti perhatian besar yang diberikan oleh suatu jenis “-pendekatan terhadap jenis
matematisasi tertentu, sedangkan tanda “
berarti kecil atau tidak ada sama sekali tekanan suatu jenis pendekatan
terhadap jenis matematisasi tertentu. Berdasar hal ini tampak bahwa
pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik memberi perhatian yang
cukup besar, baik pada kegiatan matematisasi horisontal maupun vertikal jika
dibandingkan dengan tiga pendekatan yang lain.
Prinsip
Esensi lain pembelajaran matematika
realistik adalah tiga prinsip kunci yang dapat dijadikan dasar dalam merancang
pembelajaran. Gravemeijer (1994: 90) menyebutkan tiga prinsip tersebut, yaitu
(1) guided reinvention and progressive mathematizing (2) didactical
phenomenology dan (3) self-developed models.
1.
Guided reinvention and progressive mathematizing.
Menurut Gravemijer (1994: 90), berdasar prinsip reinvention, para siswa
semestinya diberi kesempatan untuk mengalami proses yang sama dengan proses
saat matematika ditemukan. Sejarah matematika dapat dijadikan sebagai sumber
inspirasi dalam merancang materi pelajaran. Selain itu prinsip reinvention dapat
pula dikembangkan berdasar prosedur penyelesaian informal. Dalam hal ini
strategi informal dapat dipahami untuk mengantisipasi prosedur penyelesaian
formal. Untuk keperluan tersebut maka perlu ditemukan masalah kontekstual yang
dapat menyediakan beragam prosedur penyelesaian serta mengindikasikan rute
pembelajaran yang berangkat dari tingkat belajar matematika secara nyata ke
tingkat belajar matematika secara formal (progressive mathematizing).
2.
Didactical phenomenology. Gravemeijer (1994: 90) menyatakan,
berdasar prinsip ini penyajian topik-topik matematika yang termuat dalam
pembelajaran matematika realistik disajikan atas dua pertimbangan yaitu (i)
memunculkan ragam aplikasi yang harus diantisipasi dalam proses pembelajaran
dan (ii) kesesuaiannya sebagai hal yang berpengaruh dalam proses progressive
mathematizing.
3.
Self-developed models, Gravemeijer (1994: 91)
menjelaskan, berdasar prinsip ini saat mengerjakan masalah kontekstual siswa
diberi kesempatan untuk mengembangkan model mereka sendiri yang berfungsi untuk
menjembatani jurang antara pengetahuan informal dan matematika formal. Pada
tahap awal siswa mengembangkan model yang diakrabinya. Selanjutnya melalui
generalisasi dan pemformalan akhirnya model tersebut menjadi sesuatu yang
sungguh-sungguh ada (entity) yang dimiliki siswa.
Untuk kepentingan di tingkat operasional, tiga prinsip di atas selanjutnya dijabarkan menjadi lima karakteristik pembelajaran matematika sebagai berikut ini. Karena hal ini maka beberapa di antara karakteristik berikut ini akan muncul dalam pembelajaran matematika.
Untuk kepentingan di tingkat operasional, tiga prinsip di atas selanjutnya dijabarkan menjadi lima karakteristik pembelajaran matematika sebagai berikut ini. Karena hal ini maka beberapa di antara karakteristik berikut ini akan muncul dalam pembelajaran matematika.
Karakteristik
Menurut
Soedjadi (2001: 3) pembelajaran matematika realistik mempunyai beberapa
karakteristik sebagai berikut:
1.
Menggunakan konteks, artinya dalam pembelajaran
matematika realistik lingkungan keseharian atau pengetahuan yang telah dimiliki
siswa dapat dijadikan sebagai bagian materi belajar yang kontekstual bagi
siswa.
2.
Menggunakan model, artinya permasalahan atau ide dalam
matematika dapat dinyatakan dalam bentuk model, baik model dari situasi nyata
maupun model yang mengarah ke tingkat abstrak.
3.
Menggunakan kontribusi siswa, artinya pemecahan
masalah atau penemuan konsep didasarkan pada sumbangan gagasan siswa.
4.
Interaktif, artinya aktivitas proses pembelajaran
dibangun oleh interaksi siswa dengan siswa, siswa dengan guru, siswa dengan
lingkungan dan sebagainya.
5.
Intertwin, artinya topik-topik yang berbeda dapat
diintegrasikan sehingga dapat memunculkan pemahaman tentang suatu konsep secara
serentak. Dengan mengkaji secara mendalam prinsip dan karakteristik
pembelajaran matematika realistik tampak bahwa pendekatan ini dikembangkan
berlandaskan pada filsafat kontruktivisme. Paham ini berpandangan bahwa
pengetahuan dibangun sendiri oleh orang yang belajar secara aktif. Penanaman
suatu konsep tidak dapat dilakukan dengan mentransferkan konsep itu dari satu
orang ke orang lain. Tetapi seseorang yang sedang belajar semestinya diberi
keleluasaan dan dorongan untuk mengekspresikan pikirannya dalam mengkonstruk
pengetahuan itu untuk dirinya sendiri. Aktivitas ini dapat terjadi dengan cara
memberikan permasalahan kepada siswa. Permasalahan tersebut adalah permasalahan
yang telah diakrabi siswa dalam kehidupannya. Sebagai akibat dari peningkatan
aktivitas siswa dalam pembelajaran matematika realistik adalah berkurangnya
dominasi guru. Dalam pendekatan ini guru lebih berfungsi sebagai fasilitator.
0 comments:
Post a Comment