Wednesday, April 9, 2014

Matematika Realistik / RME ( Realistic Mathematic Education )



Sejarah

Secara historis, matematika modern muncul dipicu karena persaingan antara blok Barat merasa terpukul oleh kemajuan teknologi blok Timur. Untuk menghadapi blok Timur, blok Barat memerlukan banyak ilmuwan-ilmuwan yang handal dalam memajukan teknologinya. Matematika sebagai salah satu ilmu dasar dalam mendukung teknologi perlu direstrukturisasi baik dari segi materi (content) maupun pembelajarannya (Ruseffendi, 1988; Wahyudin, 1999). Melalui pembelajaran matematika modern Amerika (blok Barat) cukup berhasil menghasilkan banyak ilmuwan dan mengembalikan kejayaan mereka dalam memimpin teknologi. Keberhasilan Amerika dengan matematika modernnya tidaklah sempurna, pembelajaran matematika modern lebih mendorong orang-orang yang berbakat saja. Sementara para siswa yang kurang berbakat, prestasi belajarnya dalam matematika malah lebih terpuruk (Ruseffendi, 1988). Hal ini sangat masuk akal, walaupun matematika diberikan melalui pendekatan spiral dan disesuaikan dengan tahap berpikir anak, namun karakteristik matematika modern menuntut kemampuan yang tinggi untuk menguasainya. Sementara itu RME, merupakan salah satu jawaban dari tantangan yang berbeda. Kebutuhan dan penggunaan matematika dan persaingan global khususnya dalam bidang ekonomi di era teknologi dan informasi ini hampir di setiap sektor kehidupan kita dituntut untuk menggunakan keterampilan intelegen dalam menginterpretasi, menyelesaikan suatu masalah, ataupun untuk mengontrol proses komputer. Kebanyakan lapangan kerja belakangan ini menuntut kemampuan menganalisis daripada melakukan keterampilan prosedural dan mekanistik. Dengan demikian, siswa memerlukan lebih banyak matematika untuk menjawab tantangan dunia kerja. Tetapi jawaban atas kebutuhan di atas bukan hanya melahirkan RME saja, Jepang sejak awal tahun 90-an mengembangkan ‘open-ended’ yaitu pendekatan yang menekankan pada soal-soal konstektual yang mempunyai banyak solusi dan strategi.

Dipandang dari konteks menjawab permasalahan masing-masing, kedua pandangan matematika di atas tidak perlu dipertentangkan, bahkan untuk menjawab tantangan ke depan dalam pendidikan matematika sekolah maupun pengembangan keilmuan matematika itu sendiri kedua pandangan tersebut saling melengkapi. Pendidikan matematika sekolah untuk semua siswa diarahkan untuk menjadi problem solver pada kehidupan sehari-hari, sementara untuk siswa tertentu yang akan menekuni dunia ilmu baik dasar maupun terapan tentu diperlukan matematika sebagai subject matter untuk mendukung pengembangan keilmuannya. Kebiasaan melakukan aktivitas matematisasi dapat mendukung dalam melakukan penemuan-penemuan pengetahuan baru. 2. Hakekat Matematika Sejalan dengan historisnya, menurut Reys dkk (1984) yang berkepentingan dalam gerakan matematika baru adalah para ilmuwan sehingga tidak mengherankan jika matematika yang dikembangkan dalam kurikulum bersifat abstrak, aksiomatik, akurat, mengutamakan kepada struktur dan generalisasi (dalam Ruseffendi, 1990). Pengajaran matematika modern memandang matematika.



Definisi
Pembelajaran matematika realistik adalah padanan Realistic Mathematics Education (RME), sebuah pendekatan pembelajaran matematika yang dikembangkan Freudenthal di Belanda. Gravemeijer (1994: 82) mengungkapkan “Realistic mathematics education is rooted in Freudenthal’s interpretation of mathematics as an activity”. Ungkapan Gravemeijer di atas menunjukkan bahwa pembelajaran matematika realistik dikembangkan berdasar pandangan Freudenthal yang menyatakan matematika sebagai suatu aktivitas. Lebih lanjut Gravemeijer (1994: 82) menjelaskan bahwa yang dapat digolongkan sebagai aktivitas tersebut meliputi aktivitas pemecahan masalah, mencari masalah dan mengorganisasi pokok persoalan. Menurut Freudenthal aktivitas-aktivitas itu disebut matematisasi. Terkait dengan konsep pembelajaran matematika realistik di atas Gravemeijer (1994: 91) menyatakan “Mathematics is viewed as an activity, a way of working. Learning mathematics means doing mathematics, of which solving everyday life problem is an essential part”. Gravemeijer menjelaskan bahwa dengan memandang matematika sebagai suatu aktivitas maka belajar matematika berarti bekerja dengan matematika dan pemecahan masalah hidup sehari-hari merupakan bagian penting dalam pembelajaran.
Konsep lain dari pembelajaran matematika realistik dikemukakan Treffers (dalam Fauzan, 2002: 33 – 34) dalam pernyataan berikut ini “The key idea of RME is that children should be given the opportunity to reinvent mathematics under the guidance of an adult (teacher). In addition, the formal mathematical knowledge can be developed from children’s informal knowledge”.Dalam ungkapan Treffers tersebut menjelaskan ide kunci dari pembelajaran matematika realistik yang menekankan perlunya kesempatan bagi siswa untuk menemukan kembali matematika dengan bantuan orang dewasa (guru). Selain itu disebutkan pula bahwa pengetahuan matematika formal dapat dikembangkan (ditemukan kembali) berdasar pengetahuan informal yang dimiliki siswa. Pernyataan-pernyataan yang dikemukakan di atas menjelaskan suatu cara pandang terhadap pembelajaran matamatika yang ditempatkan sebagai suatu proses bagi siswa untuk menemukan sendiri pengetahuan matematika berdasar pengetahuan informal yang dimilikinya. Dalam pandangan ini matematika disajikan bukan sebagai barang “jadi” yang dapat dipindahkan oleh guru ke dalam pikiran siswa.
Terkait dengan aktivitas matematisasi dalam belajar matematika, Freudenthal (dalam Panhuizen, 1996: 11) menyebutkan dua jenis matematisasi yaitu matematisasi horisontal dan vertikal dengan penjelasan seperti berikut ini “Horizontal mathematization involves going from the world of life into the world of symbol, while vertical mathematization means moving within the world of symbol”. Pernyataan tersebut  menjelaskan bahwa matematisasi horisontal menyangkut proses transformasi masalah nyata/ sehari-hari ke dalam bentuk simbol. Sedangkan matematisasi vertikal merupakan proses yang terjadi dalam lingkup simbol matematika itu sendiri. Contoh matematisasi horisontal adalah pengidentifikasian, perumusan dan pemvisualisasian masalah dengan cara-cara yang berbeda oleh siswa. Sedangkan contoh matematisasi vertikal adalah presentasi hubungan-hubungan dalam rumus, menghaluskan dan menyesuaikan model matematika, penggunaan model-model yang berbeda, perumusan model matematika dan penggeneralisasian.
Mengacu kepada dua jenis kegiatan matematisasi di atas de Lange (1987: 101) mengidentifikasi empat pendekatan yang dipakai dalam mengajarkan matematika, yaitu pendekatan mekanistik, empiristik, strukturalistik dan realistik. Pengkategorian keempat pendekatan tersebut didasarkan pada penekanan atau keberadaan dua aspek matematisasi (horisontal atau vertikal) dalam masing-masing pendekatan tersebut, seperti yang tergambar dalam Tabel 2.1. di bawah.
Tabel 2. 1 Matematisasi horisontal dan vertikal
dalam pendekatan-pendekatan matematika
Jenis Pendekatan
Matematika Horizontal
Matematika Vertikal
Mekanistik
-
-
Empristik
+
-
Strukturalistik
-
+
Realistik
+
+
Tanda “+” berarti perhatian besar yang diberikan oleh suatu jenis “-pendekatan terhadap jenis matematisasi tertentu, sedangkan tanda “  berarti kecil atau tidak ada sama sekali tekanan suatu jenis pendekatan terhadap jenis matematisasi tertentu. Berdasar hal ini tampak bahwa pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik memberi perhatian yang cukup besar, baik pada kegiatan matematisasi horisontal maupun vertikal jika dibandingkan dengan tiga pendekatan yang lain.

Prinsip
Esensi lain pembelajaran matematika realistik adalah tiga prinsip kunci yang dapat dijadikan dasar dalam merancang pembelajaran. Gravemeijer (1994: 90) menyebutkan tiga prinsip tersebut, yaitu (1) guided reinvention and progressive mathematizing (2) didactical phenomenology dan (3) self-developed models.
1.        Guided reinvention and progressive mathematizing. Menurut Gravemijer (1994: 90), berdasar prinsip reinvention, para siswa semestinya diberi kesempatan untuk mengalami proses yang sama dengan proses saat matematika ditemukan. Sejarah matematika dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi dalam merancang materi pelajaran. Selain itu prinsip reinvention dapat pula dikembangkan berdasar prosedur penyelesaian informal. Dalam hal ini strategi informal dapat dipahami untuk mengantisipasi prosedur penyelesaian formal. Untuk keperluan tersebut maka perlu ditemukan masalah kontekstual yang dapat menyediakan beragam prosedur penyelesaian serta mengindikasikan rute pembelajaran yang berangkat dari tingkat belajar matematika secara nyata ke tingkat belajar matematika secara formal (progressive mathematizing).
2.        Didactical phenomenology. Gravemeijer (1994: 90) menyatakan, berdasar prinsip ini penyajian topik-topik matematika yang termuat dalam pembelajaran matematika realistik disajikan atas dua pertimbangan yaitu (i) memunculkan ragam aplikasi yang harus diantisipasi dalam proses pembelajaran dan (ii) kesesuaiannya sebagai hal yang berpengaruh dalam proses progressive mathematizing.
3.        Self-developed models, Gravemeijer (1994: 91) menjelaskan, berdasar prinsip ini saat mengerjakan masalah kontekstual siswa diberi kesempatan untuk mengembangkan model mereka sendiri yang berfungsi untuk menjembatani jurang antara pengetahuan informal dan matematika formal. Pada tahap awal siswa mengembangkan model yang diakrabinya. Selanjutnya melalui generalisasi dan pemformalan akhirnya model tersebut menjadi sesuatu yang sungguh-sungguh ada (entity) yang dimiliki siswa.
Untuk kepentingan di tingkat operasional, tiga prinsip di atas selanjutnya dijabarkan menjadi lima karakteristik pembelajaran matematika sebagai berikut ini. Karena hal ini maka beberapa di antara karakteristik berikut ini akan muncul dalam pembelajaran matematika. 

Karakteristik
Menurut Soedjadi (2001: 3) pembelajaran matematika realistik mempunyai beberapa karakteristik sebagai berikut:
1.        Menggunakan konteks, artinya dalam pembelajaran matematika realistik lingkungan keseharian atau pengetahuan yang telah dimiliki siswa dapat dijadikan sebagai bagian materi belajar yang kontekstual bagi siswa.
2.        Menggunakan model, artinya permasalahan atau ide dalam matematika dapat dinyatakan dalam bentuk model, baik model dari situasi nyata maupun model yang mengarah ke tingkat abstrak.
3.        Menggunakan kontribusi siswa, artinya pemecahan masalah atau penemuan konsep didasarkan pada sumbangan gagasan siswa.
4.        Interaktif, artinya aktivitas proses pembelajaran dibangun oleh interaksi siswa dengan siswa, siswa dengan guru, siswa dengan lingkungan dan sebagainya.
5.        Intertwin, artinya topik-topik yang berbeda dapat diintegrasikan sehingga dapat memunculkan pemahaman tentang suatu konsep secara serentak. Dengan mengkaji secara mendalam prinsip dan karakteristik pembelajaran matematika realistik tampak bahwa pendekatan ini dikembangkan berlandaskan pada filsafat kontruktivisme. Paham ini berpandangan bahwa pengetahuan dibangun sendiri oleh orang yang belajar secara aktif. Penanaman suatu konsep tidak dapat dilakukan dengan mentransferkan konsep itu dari satu orang ke orang lain. Tetapi seseorang yang sedang belajar semestinya diberi keleluasaan dan dorongan untuk mengekspresikan pikirannya dalam mengkonstruk pengetahuan itu untuk dirinya sendiri. Aktivitas ini dapat terjadi dengan cara memberikan permasalahan kepada siswa. Permasalahan tersebut adalah permasalahan yang telah diakrabi siswa dalam kehidupannya. Sebagai akibat dari peningkatan aktivitas siswa dalam pembelajaran matematika realistik adalah berkurangnya dominasi guru. Dalam pendekatan ini guru lebih berfungsi sebagai fasilitator.

0 comments:

Post a Comment