Monday, April 21, 2014

Temui Ibu Nak, Sekali Ini Saja


Abdullah adalah seorang saudagar kaya yang sibuk. Sejak kecil dia memang sudah bercita-cita kelak dia akan menjadi sukses dan ini juga berasal dari dorongan ibunya. Abdullah tidak ingin hidup miskin seperti keluarganya.
                Ketika usahanya semakin besar, kesibukan abdullah semakin bertambah. Beruntung, abdullah menemukan jodoh dari kalangan yang sama-sama sukses, meski mereka memiliki usaha yang berbeda. Nama istrinya adalah Khadijah. Abdullah dan Khadijah menjadi pasangan yang ideal dalam segala hal, ini tentu sangat membanggakan keluarganya, apalagi ibunya yang begitu menyayangi Abdullah.
                Suatu hari, Abdullah membeli rumah di luar kota dan mengatakan pada ibunya bahwa dia akan merintis usaha di kota tersebut, mendengar hal itu ibunya sedih.
                “Ini berarti kau ingin meninggalkan kota ini Anakku?” kata sang ibu dengan mata sayu.
                Abdullah memeluk ibunya, “Ibu bisa ikut bersama saya ke kota itu”, ujar Abdullah.
                “Ibu betah di sini. Ini kota kelahiran sekaligus ibu ingin menjadi kota di mana ibu meninggal kelak.”
                “Ibuku sayang, jangan khawatir kalau pun ibu tidak ikut dengan kami. Kami akan sering menengok ibu,” kata Abdullah.
                Dengan berat hati akhirnya  sang ibu merelakan Abdullah dan Istrinya pindah.
                “Ibu sudah tua, sering-seringlah menengok ibu.” Pesan ibu dengan air mata mengalir.
                Abdullah mengangguk.
                Kesuksesan Abdullah berulang. Di kota baru itu, Abullah kembali mencapai sukses, bahkan lebih sukses. Kesuksesan Abdullah berjalan sama dengan kesiukan yang dia miliki. Setiap hari dia harus melayani begitu banyak pelanggan dan sejak pindah dia belum menengok ibunya.
                Khadijah pun menggantikan suaminya untuk berkunjung ke rumah ibunya. Jika ibu bertanya tentang Abdullah, Khadijah mengatakan, “Dia sungguh sibuk ibu, dia belum sempat menengok ibu,” Jawab Khadijah.
                Ibu begitu rindu berat pada Abdullah.
                Ya, Kesibukan Abdullah memang semakin menggila. Sealain sibuk melayani pelanggan, dia pu harus mengunjungi satu kota ke kota lain untuk membeli dagangan.
                “Tidakkah Abdullah merindukan ibu sama seperti ibu merindukannya?” tanya ibu sambil memandang wajah khadijah.
                Dengan sigap Khadijah menjawab, “tentu saja, dia merindukan ibu. Tapi, semoga ibu mengerti kesibukannya, kesuksesan seperti inilah yang telah ibu dan suamiku cita-citakan sejak lama, bukan?” tanya Khadijah.
                Ibu tertunduk diam. dalam hatinya, beliau membenarkan apa yang dikatakan oleh menantunya. Beliau selalu mendoakan bahwa anaknya akan menjadi orang yang sukses dan bisa membeli apapun yang dia mau. Bukankah saat ini kiriman Abdullah pun tak pernah absen ada di rumahnya?
                “Anak ibu sudah mempersiapkan segala sesuatu untuk kesuksesannya. Semoga ibu bangga,” lanjut khadijah.
                “Tapi ibu sangat merindukannya. Katakanlah pada suamimu, datang kemari walau hanya satu kali,” kata iu dengan gemetar.
                Khadijah mengatakan hal itu pada Abdullah. “Aku pun sangat merindukannya, tapi aku tidak bisa meninggalkan pekerjaanku,” ujarnya memberikan alasan.
                “Datanglah sebentar,” saran khadijah.
                “Aku yakin ibu mengerti dengan kesibukanku,” ujar Abdullah.
                Hari berganti hari, minggu berganti minggu dan bulan berganti bulan, Abdullah tetap tidak memiliki waktu untuk mengunjungi ibunya.
                Khadijah datang ke tempat ibu dan menjelaskan kembali pada ibu mengenai kesibukan suaminya. Ibu rupanya dapat memahami itu, tapi tetap mengatakan, “Katakan pada suamimu bahwa iu sangat merindukannya dan datanglah kemari walau hanya satu kali,” kata ibu ketika Khadijah pamit pulang.
                “Datanglah sebentar ke rumah ibu,” kata Khadijah.
                “Ya, aku akan menyempatkannya, jika waktuku sedikit luang.”
                Sampai suatu hari, seorang tetangga ibunya datang dan menyampaikan berita mengejutkan, “ibumu berpesan, datanglah ke rumah walau hanya satu kali. Ibumu jatuh sakit karena memendam rindu padamu,” kata tetangga ibunya itu.
                Abdullah dan Khadijah langsung pergi ke kota ibunya. Terlambat, ketika mereka datang ibunya sudah di panggil sang khalik.
                Setibnya di rumah ibunya, Abdullah lansung memeluk jasad ibunya. “Ibu, ini anakmu. Aku datang menjengukmu,” ucapnya lirih, namun sakit dan penyesalan menyeruak dalam dirinya. Begitu pedih sakit yang dirasakannya.
                Ketika tanah mengubur jasad ibunya, berkali-kali Abdullah bertanya pada istrinya, “Apakah aku sudah menunaikan keinginan ibu untuk menjenguknya walau hanya sekali saja?” tanyanya dengan gemetar. Khadijah menggengam tangan Abdullah.
                “Inilah konsekuensi dari kesuksesan yang aku peroleh?” tanya Abdullah. Kemudian dia berkata, “Seandainya ibu memberiku kesempatan untuk menatap wajahnya yang teduh dan senyumnya yang indah. Aku tidak akan menjenguknya hanya satu kali, tapi setiap kali. Ibu, maafkan aku,” rintihan Abdullah begitu menyayat. Kemudian dia bersimpuh dikuburan ibunya, air matanya membanjir. Kini hanya penyesalan yang dia miliki.

“Jangan mengabaikan (membenci dan menjauhi) orang tuamu. Barang siapa yang mengabaikan orang tuanya maka dia kafir”
 (H.R. Muslim)

0 comments:

Post a Comment